Oleh: Marsigit UNY
23 September 2017
Saya mencoba berpikir positif dari himbauan P Menteri agar siswa jangan diberi PR Matematika.
Kita juga tidak dapat membayangkan jika semua Mapel masing masing memberi PR kepada siswa, maka bagaimana siswa mampu mengerjakan dirumah.
Sedangkan dirumah sebetulnya para siswa masih memerlukan kegiatan lain seperti bermain, bersosialisasi, dan mengaji misalnya.
Namun himbauan tidak memberi PR Matematika menurut saya sebetulnya perlu didudukkan secara lebih utuh dan komprehensif disertai pemenuhan standard pendidikan yang lain.
Untuk itu himbauan tidak memberi PR Matematika perlu didukung justifikasi akademik yang lebih kokoh dari sisi keilmuan pembelajaran matematika dan mapel yang lain.
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan Pemerintah, bagaimanapun perlu kita dukung. Dan secara ontologis PPK juga sebetulnya dapat digali dari aspek pembelajaran matematika, jika pembelajaran matematika sudah bersifat inovatif dan progresif.
School Based Management sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan sebagai metode. Menurut saya itu adalah kerangka pendekatan managemen sekolah yang memungkinkan setiap mapel memperbaiki dan mengembangkan metodenya masing masing.
Perlu diingat bahwa ekosistem sekolah yang diharapkan juga termasuk kebijakan pemerintah baik jangka pendek, menengah maupun ujian, termasuk sistem ujian.
Persoalan utama yang selalu dihadapi guru dari tahun ke tahun adalah antara satu sisi beban menyelesaikan silabus dengan SK KD nya dan disisi lain memfasilitasi agar siswa mampu memahami, mengerti, trampil mengerjakan matematika untuk semua topik.
Dilema di atas tidak hanya dialami oleh guru, tetapi dirasakan juga oleh siswa, Kepala Sekolah, masyarakat dan orang tua.
Suatu saat terkadang guru terdorong untuk mencari solusi tepat dan cepat, maka memberi PR dirasakan bisa sebagai solusi mengatasi itu.
Solusi lain yang dilakukan guru dan juga disukai murid serta direstui Kepala Sekolah adalah mengubah metode pembelajaran hakiki matematika menjadi berorientasi pada ujian, yaitu UN, yaitu dengan cara lebih suka mengerjakan sebanyak banyaknya latihan soal. Saking terbebani pencapaian prestasi UN sampai sampai ada Kepala Sekolah yang melarang guru mengikuti penataran inovasi pbm. Menurutnya itu tidak akan banyak manfaat jika tidak berkontribusi langsung pada pencapaian UN. Katanya: "tak usah muluk muluk cari metode mengajar, yang penting UN lulus semua dan the best".
Saya katakan metode itu bukan metode hakiki karena hal tersebut juga dilakukan oleh Bimbel Bimbel dengan hanya berorientasi mencari cara singkat atau cara mujarab menemukan jawaban matematika. Jadi apalah bedanya sekolah dengan Bimbel?
Padahal hal demikian secara ontologis bertentangan dengan hakekat belajar matematika dan kurang menunjang pencapaian PPK.
Mengapa? Sebab sama seperti mapel mapel yang lain, semua mapel di tingkatan rendah (SD dan SMP) terikat psikologi belajar anak anak yang berbeda dengan psikologi belajar orang dewasa.
Lebih dari itu secara hakiki terdapat perbedaan berbagai paradigma pendidikan untuk SD, SMP di satu sisi dan SMA/SMK dan Universitas/orang dewasa di sisi lain.
Perbedaan paradigma pendidikan meliputi: paradigma keilmuan, paradigma tujuan, paradigma belajar, paradigma mengajar, paradigma menilai, paradigma sumber belajar.
Untuk anak kecil, paradigma keilmuan berbeda dengan orang dewasa. Bagi anak kecil, tiadalah bagi dia itu ilmu seperti ilmunya orang dewasa.
Jika bagi orang dewasa, matematika adalah ilmu, yaitu ilmu tentang struktur logika, struktur kebenaran, body of knowledge, dst. Maka definisi itu tidak berlaku untuk anak kecil.
Bagi anak kecil semua ilmu apapun Mapelnya, didefinisikan sebagai AKTIVITAS atau KEGIATAN.
Hakikat Matematika untuk anak kecil (SD dan SMP) adalah KEGIATAN:
1. Mencari pola atau hubungan.
2. Memecahkan masalah.
3. Meneliti fenomena matematika dari alam sekitar.
4. Berkomunikasi matematika dengan sesama atau guru.
Bagi anak kecil (SD dan SMP), IPA
adalah kegiatan menyelidiki fenomena alam.
Bagi anak kecil (SD dan SMP), IPS adalah kegiatan menyelidiki dan mengkonstruk fenomena sosial.
Demikian seterusnya.
Yang terjadi selama ini adalah bahwa pembelajaran di sekolah berorientasi pada buku teks, dan didalam buku teks itu isinya adalah paradigma keilmuan orang dewasa. Apa yang terjadi?
Yang terjadi adalah bahwa pendidikan generasi kita selama ini menggunakan paradigma keilmuan orang dewasa, dimana fungsi pendidikan dimaksudkan untuk menstransfer segala ilmunya orang dewasa beserta kepentingannya.
Jadi sistem pendidikan yang selama ini kita jalani yaitu sistem pendidikan bagi kepentingan dan kependingan orang tua, di mana anak didik berkedudukan absolutely sebagai objek pelengkap penderita.
Jika paradigma bisa diubah yaitu dilaksanakannya paradigma AKTIVITAS bagi anak kecil, dengan sendirinya itu sudah merupakan PROSES yang sudah terjadi di sekolah. Artinya tidak perlu PR Matematika.
Di sini pulang kepada Pemerintah cq Kemendikbud, seberapa jauh berkomitmen utuh dan komprehensif tidak parsial dalam mengembangkan pendidikan sekolah?
Sistem Ujian Nasional adalah sumber segala sumber persoalan itu semua. Jika pemerintah tidak mampu moratorium sistem ujian nasional, selamanya praktek kependidikan akan begini terus dan selalu menghasilkan ambivalensi, yaitu berharap hasil pendidikan yang baik tetapi tidak disertai komitmen untuk mencapainya.
Keinginan atau kebijakan apapun adalah selalu lebih tinggi dan selalu menang dari ilmu segala ilmu. Tiadalah manfaat segala teori dan ilmu mendidik yang sophisticated dari Jepang, Finlandia maupun Australia jika Pemerintah belum berkomitmen untuk itu.
Segala macam inovasi apapun bentuknya harus diinisiasi dari atas atau dari Pemerintah. Jika inisiasi dari bawah maka akan melahirkan anarkhisme.
Memang kita juga menyadari kesulitan Pemerintah karena mempunyai agenda ganti policy lima tahunan.
Namun perlu diingat bahwa pendidikan berdimensi jangka pendek (short term), medium term dan long term.
Seyogyanya pemerintah mampu meminimalisir faktor ego sektoral dan memanfaatkan hasil riset dalam penentuan kebijakan.
Jadi menurut saya larangan memberi PR Matematika bertujuan baik tetapi tidak mampu menyelesaikan solusi hakiki pendidikan nasional, karena bersifat parsial, tidak matang dan tidak mempunyai landasan justifikasi keilmuan yang kuat.
Pesan saya kepada para guru, hendaklah selalu meningkatkan ilmu dan pengetahuan secara bersama misalnya melalui lesson study.
Jadilah guru yang bijaksana, di satu sisi mampu memenuhi harapan pemerintah, tetapi di disi lain mampu menjadi pelindung murid muridnya. Di sekolah hanyalah guru satu satunya yang mampu melindungi hidup belajar para siswanya. Jika tiadalah guru mampu melindungi dan mengayomi kebutuhan para siswanya, maka dunia siswa akan berantakan akibatnya mereka akan kehilangan intuisi, kehilangan empati, kehilangan orientasi. Hasilnya jelas kenakalan remaja, tawuran, narkotika, dst.
Pesan saya juga, pelajarilah paradigma paradigma yang sesuai dengan anak kecil. Misal paradigma itu:
1. Belajar adalah membangun atau menemukan.
2. Siswa adalah subjek atau pelaku pendidikan.
3. Guru adalah fasilitator.
4. Mengajar adalah memfasilitasi siswa agar siswa mampu belajar.
5. Sumber belajar adalah semua lingkungan fisik dan hidup siswa.
Dst.
Seorang guru yang tidak bijak maka dia terkena label bisa mendholimi generasi muda. Jangan dikira, guru pun bisa kena label kenakalan orang tua, jika pada akhirnya mendidiknya menyebabkan kenakalan generasi muda.
Demikianlah tanggapan saya perihal larangan memberi PR Matematika.
Selamat berkarya dan berjuang demi kemajuan pendidikan Indonesia.
Hidup pendidikan Indonesia. Hidup generasi muda bangsa. Hidup NKRI.
SALAM
Diana Prastiwi
ReplyDelete18709251004
S2 P. Mat A 2018
Membelajarkan matematika untuk orang dewasa dan anak-anak tentu berbeda. Aktivitas anak dalam belajar matematika dalam artikel tersebut meliputi kegiatan mencari pola atau hubungan, memecahkan masalah, meneliti fenomena matematika dari alam sekitar dan berkomunikasi matematika dengan sesame atau guru. Melihat hal tersebut menjadi dasar pentingnya memilih strategi dan metode pembelaaran matematika yang tepat. Tujuannya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai optimal, siswa tidak merasa kesulitan belajar matematika.
Diana Prastiwi
ReplyDelete18709251004
S2 P. Mat A 2018
Salah satu metode yang disarankan Prof Marsigit adalah Lesson Study. Lesson study adalah model pembinaan (pelatihan) profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Sumar Hendayana, dkk, 2009: 5). Pendidik merupakan kunci utama dalamkeberhasilan pembelajaran. Pendidik memberikan kesan kepada siswa dalam belajar. Siswa akan menyukai mata pelajaran tertentu dikarenakan guru. Semoga pendidikan kita semakin terintegrasi satu samalain,sehingga tercapai output pendidikan yang berkualitas. :)
Muhammad Fendrik
ReplyDelete18706261001
S3 Dikdas 2018
Sebelumnya terima kasih Prof Marsigit untuk ilmunya hari ini. Saya akan mencoba mengomentari artikel ini sesuai dengan pemahaman saya.
Menyoal larangan memberi PR khususnya pada mata pelajaran Matematika sampai sekarang masih menjadi hal yang prokontra dari peneliti, praktisi, akademisi, maupun orang tua karena memang berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan dalam jurnal maupun buku juga berbeda. Akan tetapi perihal PR menjadi pro dan kontra memiliki alasannya masing-masing, ada yang Pro dengan ketentuan bahwa PR harus berdasarkan dengan materi dan substansi yang jelas sesuai dengan kepentingan siswa (Buku karangan Arends) sedangkan Kontra karna PR telah meregut waktu anak yang pada hakikatnya mendapatkan pengalaman belajar dari bermain dengan teman-temannya sebagai bentuk belajar bersosialisasi atau berkomunikasi dengan orang lain.
Bayuk Nusantara Kr.J.T
ReplyDelete18701261006
PEP S3
Definisi mata pelajaran akan berbeda sesuai dengan tingkatannya seperti yang sudah dicontohkan pada artikel di atas. Artinya, penerapan dari definisi tersebut pun akan berbeda. Jika matematika didefinisikan sebagai ilmu tentang logika atau the body of knowledge, maka matematika untuk anak anak adalah mengenai pola, mencari solusi. Dengan demikian, cara mengajarnya pun akan sangat berbeda. Hal ini harus disesuaikan dengan tingk pendidikan.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteUmi Arismawati
ReplyDelete18709251037
Pendidikan Matematika B S2 2018
Saya sangat setuju dengan kalimat "Bagi anak kecil semua ilmu apapun Mapelnya, didefinisikan sebagai AKTIVITAS atau KEGIATAN". Dalam pembelajaran jangan memberikan definisi kepada anak karena bagi anak definisi itu sangat abstrak. Perlu adanya kegiatan pembelajaran yang dapat membangun pengetahuan siswa terlebih dahulu baru pada akhirnya diberi penguatan menjadi sebuah definisi.
Umi Arismawati
ReplyDelete18709251037
Pendidikan Matematika B S2 2018
Menurut saya memberikan PR merupakan salah satu cara penguatan pembelajaran kepada siswa. Tugas ini menjadi cara untuk siswa dapat lebih memahami materi yang sedang dipelajari. Akan tetapi mungkin porsinya harus diperhatikan, karena porsi yg berlebihan dapat menjadi kurang efektif. Mungkin PR dapat diberikan tidak setiap hari, hanya diberikan untuk pada keadaan tertentu yang dirasa perlu untuk latihan siswa agar lebih paham.
Totok Victor Didik Saputro
ReplyDelete18709251002
S2 Pendidikan Matematika A 2018
Selamat pagi Prof.
Memberikan PR bagi siswa diperlukan untuk melatih kembali pemahaman siswa tersebut. Kenapa pemberian PR diperlukan? Hal ini karena kemampuan memberikan perhatian selama pembelajaran di kelas setiap orang berbeda-beda. Artinya terdapat siswa yang mampu memperhatikan pembelajaran dengan baik dan ada pula yang tidak dapat melakukan hal tersebut. Pemberian PR diperlukan untuk mengulang kembali pembelajaran yang sudah diberikan di kelas sehingga siswa semakin memahami dan dapat mengingat kembali bagaimana cara menyelesaikan permasalahan matematika tersebut. Terima kasih.
Restu WIdhi Laksana
ReplyDelete18709251022
S2 Pendidikan Matematika A 2018
Bismillahirrokhmanirrokhim
Memang perlu definisi dan kejelasan tentang kebijakan larangan pemberian PR ini. Jika hanya dengan larangan tanpa adanya pengganti sesuai dengan yang dikatakan pak Marsigit maka kebijakan ini tidak baik untuk diterapkan, ibaratnya seperti memotong salah satu tangan atau kaki guru tanpa menggantinya dengan yang lebih baik.
Bagi Guru selama ini PR adalah jalan keluar terbaik untuk memperpanjang jam pelajaran di luar kelas, karena banyaknya kompetensi yang harus dikuasai siswa dengan waktu yang sangat terbatas. Sehingga pemberian PR diharapkan siswa juga menambah jam belajarnya di luar sekolah. Namun Esensi pemberian PR ini tidak dipahami oleh sebagian guru, sehingga bagi sebagian guru PR hanya dipandang sebagai sebuah bahan untuk penilaian. Sehingga soal yang terdapat dalam PR tidak membuat siswa termotivasi namun menjadikan siswa objek pelengkap penderitaan seperti dalam artikel diatas. Apalagi saat ini PR lebih banyak dikerjakan oleh orang tua dibanding siswa sendiri. Tentunya hal ini perlu di kaji ulang.
Di artikel ini saya melihat bahwa pemberian PR itu boleh tapi PR yang bagaimana dulu. Jika hanya sebagai alat penialaian atau assesment maka PR itu suatu hal yang mubazir karena tidak hanya membebani siswa namun juga PR tersebut tidak akan berkontribusi apapun terhadap pengetahuan siswa.
Darwis Cahyo Nugroho
ReplyDelete18709251038
S2 Pendidikan Matematika B 2018
Assalamualaikum wr.wb
Saya setuju dengan pendapat prof Marsigit bahwa larangan memberi PR Matematika bertujuan baik tetapi tidak mampu menyelesaikan solusi pendidikan nasional, karena sifatnya yang parsial. Alangkah baiknya guru memberikan PR namun yang sifatnya mengulang pelajaran yang sudah di berikan. Sehingga siswa tidak merasa di beri beban dalam belajar.
Septia Ayu Pratiwi
ReplyDelete18709251029
S2 Pendidikan Matematika B
Sampai saat ini larangan pemberian PR di sekolah masih menjadi perdebatan khususnya bagi para guru. Karena saya yakin guru sangat memahami kondisi para siswanya di kelas sehingga ada yang pro dan kontra terhadap hal ini. Pemberian PR memberikan efek positif dan negative bagi siswa. Efek positifnya yaitu siswa akan menjadi lebih mandiri dan termotivasi untuk belajar khususnya saat di luar sekolah sehingga siswa transfer ilmu yang dilakukan oleh guru menjadi lebih maksimal. Di lain sisi muncullah efek negative terhadap pemberian PR kepada siswa yaitu berkurangnya jam bermain anak, waktu istirahat, waktu dengan keluarga, dan memicu kelelahan dan stress pada anak.
Menyikapi hal tersebut, saya pribadi tidak setuju jika pemberian PR matematika kepada siswa itu dilarang mengingat matematika adalah ilmu yang sangat penting untuk di pelajari dan membutuhkan pemhaman yang mendalam, namun dengan syarat adanya pengurangan jam belajar atau aktivitas sekolah yang membuat pembelajaran matematika menjadi kurang optimal.
Aan Andriani
ReplyDelete18709251030
S2 Pendidikan Matematika B
Assalamualaikum wr.wb.
PR yang diberikan kepada para siswa ada yang berdampak baik tapi juga ada yang berdampak buruk. Tujuan diberikannya PR agar siswa mau belajar dirumah dan ebih memahami apa yang telah dipelajari ketika di sekolah. Namun hal ini bisa berdampak buruk jika terlalu banyak PR yang diberikan. Siswa ketika di sekolah memang untuk belajar dan menimba ilmu, namun ketika di rumah mereka juga perlu adanya waktu untuk bersantai dan bermain bersama teman-temannya. Jika terlalu banyak PR yang diberikan akan membuat siswa kurang menikmati masa kanak-kanaknya dan membuat psikologinya tidak berkembang dengan baik. oleh karena itu, dalam memberikan PR harus melihat seberapa penting PR tersebut dan seberapa mampukah anak-anak tersebut dalam menyelesaikan PR.
Wassalamualaikum wr. wb.
Muh. Fachrullah Amal
ReplyDelete18709251036
S2 Pendidikan Matematika B 2018
Saya lebih cenderung kepada pengkondisian dalam memberikan PR matematika kepada siswa, karena karakter kebutuhan dan kepuasan dalam belajar siswa berbeda, ada siswa yang senang diberikan PR dan ada juga siswa yang tidak senang dengan hal tersebut. Dalam pembelajaran matematika tidak cukup ketika latihan berhitung di sekolah saja melainkan perlunya tambahan latihan di rumah agar siswa terlatih dalam kemampuan berhitungnya. Di sinilah peran seorang guru dalam melihat kondisi siswa yang diajar, apakah efektif ketika saya memberikan PR atau tidak.
Muh. Fachrullah Amal
ReplyDelete18709251036
S2 Pendidikan Matematika B 2018
Pemberian PR merupakan sesuatu yang sah-sah saja dalam pembelajaran khususnya matematika. Karena capaian kompetensi atau target tujuan pembelajaran yang telah disusun dalam RPP terkadang tidak sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu, guru dapat memberikan tugas tambahan atau PR kepada siswa agar capaian kompetensi tersebut dapat terpenuhi dengan berdasar pada materi yang telah diajarkan.
Eka Puspita Sari
ReplyDelete18709251035
S2 PM B 2018
Jika ditelusuri lebih dalam memang benar apa yang dikatan oleh Prof Marsigit, bahwa PR terkadang dihadirkan akibat tuntutan pemerintah yang memberikan begitu banyak materi tanpa menyadari bahwa waktunya tidak memadai, belum lagi tuntutan UN. Begitu banyak dampak yang dihasilkan akibat diterapkanya UN, bukan membuat pendidikan semakin baik malah menimbulkan kekacauan. Seakan nilai gengsi sekolah berada di tangan UN hingga para guru dan kepala sekolah tak segan melakukan berbagai macam cara nilai UN siswa tinggi tanpa peduli sebenarnya apa yang seharusnya diterima dan dipelajari oleh anak. Mengapa kita tidak pernah berkaca pada sistem pendidikan di negara-negara maju seperti Australia misalnya yang lebih takut siswanya tidak bisa mengantre dibandingkan dengan tidak bisa matematika. Sederhana saja target yang mereka inginkan dari siswa, seperti budaya mentre misalnya. Apakah disekolah di Indonesia hal tersebut diajarkan sekolah, nampaknya tidak. Maka tidak heran jika semakin lama moral bangsa semakin jauh merosot.
Eka Puspita Sari
ReplyDelete18709251035
S2 PM B 2018
Terlepas dari penyebab apapun alasan guru memberikan PR kepada siswa, saya termasuk yang tidak setuju jika PR dilarang. Namun dengan catatan PR yang diberikan adalah PR yang bermaksud untuk memberikan siswa latihan soal atas apa yang telah dipelajari, agar kemampuan anak semakin terasah karena semakin banyak pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah maka semakin kaya pengetahuan siswa. Jangan berikan PR yang menuntut siswa untuk melakukan usaha lebih, misalnya memberikan PR yang materinya belum pernah diberikan di kelas. Hal tersebut sama saja membebani siswa, padahal waktu dirumah bukan hanya tentang mengerjakan PR, masih banyak kegiatan lain yang harus dikerjakan siswa. Mengapa saya tidak setuju PR dilarang karena terkadang siswa tidak mempunyai inisiatif untuk mempelajari lagi apa yang telah diberikan disekolah, maka solusinya adalah memberikan PR dengan jumlah sedikit saja dan tingkat kesulitan yang tidak terlampau jauh dari apa yang telah diberikan disekolah. Hal tersebut dilakukan agar setidaknya siswa membuka kembali buku pelajarannya dirumah, walupun hanya untuk mengerjakan PR satu atau dua nomor.
Cahya Mar'a Saliha Sumantri
ReplyDelete18709251034
S2 Pendidikan Matematika B
Assalamualaikum wr.wb.
Dari dulu anak sekolah akan membawa pekerjaan rumah untuk diperiksan dan diberikan nilai oleh guru keesokan harinya. Padahal anak sudah belajar di sekolah mulai pagi hingga sore, waktu bermainnya akan terpotong bahkan tidak ada karena berkutat dengan tugas. Bisa jadi keesokan harinya, guru hanya memeriksan dan tidak memberi nilai. Hal itu akan menjadi percuma bagi anak yang bertujuan mencari nilai, tetapi akan tetap bermanfaat bagi anak yang memang mengerjakan tugas karena untuk belajar. Sehingga, pekerjaan rumah bagi anak sekolah bisa diberikan hanya sekali dalam sat semester itupun karena mungkin hanya sebagai bahan evaluasi atau bisa saja pekerjaan rumah tidak diberikan tetapi memberikan tugas akhir.
Dita Aldila Krisma
ReplyDelete18709251012
PPs Pendidikan Matematika A 2018
Menanggapi pesan Bapak untuk mempelajari paradigm pendidikan yang salah satunya yaitu guru adalah fasilitator. Guru-guru harus belajar dan berlatih untuk menjadi fasilitator yang baik dalam kelasnya. Menjadi guru sebagai fasilitator, setidaknya berusaha untuk Memiliki pemahaman dan pengetahuan (mengenali) kekuatan dan kelemahan setiap (masing-masing) peserta didik yang ada di kelas yang diampunya. Memiliki kepedulian kepada seluruh peserta didik yang di dalam kelasnya dan sedang berupaya mengikuti pembelajarannya. Memiliki kesadaran penuh bahwa setiap peserta didik memiliki hak yang sama untuk belajar. Memahami bahwa setiap peserta didik mempunyai minat yang berbeda-beda dan mempunyai gaya dan cara belajar. Mempunyai jiwa kepemimpinan. Memiliki tugas yang kompleks meliputi: melakukan penilaian dan evaluasi; melakukan perencanaan pembelajaran secara baik; mengimplementasi rancangan pembelajaran yang telah dibuat dan mengubah sesuai kondisi yang ada di saat pembelajaran dilaksanakan.
Dita Aldila Krisma
ReplyDelete18709251012
PPs Pendidikan Matematika A 2018
Peniadaan PR bisa saja diterapkan asal kebutuhan pendidikan lainnya yang menunjang kemampuan peserta didik dapat terfasilitasi di sekolah dan di lingkungan sekitar. Peniadaan PR ini mungkin bisa diterapkan pada jenjang sekolah dasar. Hal ini karena peserta didik di sekolah dasar mempunyai waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan mengeksplor banyak peristiwa sehingga mereka akan mempunyai bekal dalam menghadapi tantangan sejak dini. Bisa tidak ada PR namun perlu usaha keras juga dari orang tua untuk mendidik putra putrinya dengan baik. Lain halnya pada jenjang SMP dan SMA, alangkah baiknya tetap ada PR. Harus ada perbedaan dalam memperlakukan siswa pada tingkat dasar dan menengah. Peserta didik SMP dan SMA sudah mampu berpikir abstrak dan harus bisa menyelesaikan masalah yang tidak lagi sederhana terus namun juga masalah kompleks. Perlu adanya pengulangan belajar di rumah yang berupa tugas pekerjaan rumah.
Cahya Mar'a Saliha Sumantri
ReplyDelete18709251034
S2 Pendidikan Matematika B
Assalamualaikum wr.wb.
Di berbagai belahan dunia manapun mempunyai sistem embelajaran yang berbda-beda. Termasuk dalam hal pemberian pekerjaam rumah , karena mereka berpikir sudah cukup siswa belajar seharian di sekolah, sesampainya di rumah siswa tinggal beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-temannya untuk bermain atau sekedar hanya mengulang kembali pelajaran yang telah dipelaajari. Karena pekerjaan rumah tidak begitu ampuh untuk mendisiplinkan siswa, siswa bisa menyalin punya temannya, siswa tidak mau mengerjakannya, sehingga lebih baik lebih banyak diberikan aktifitas dalam pembelajaran.
Muhammad Nurfauzan
ReplyDelete14301241015
S1 Pendidikan MAtematika
PPeniadaan PR matematika untuk siswa seperti pisau bermata dua. Untuk dilihat kebermanfaatnya ada. Sperti di tempat saya mengajar bahwa dgn ditambah murid-murid yang juga banyak haflan dipondok maka pemberian PR dapat mengurangi beban dari murid tersebut karena setelah ashar sudah mulai mengaji (padahal pulang sekolah pukul 13:30) lalu mengaji sampai pukul 22.00 (umumnya jam 22.00) maka agar tidak memforsir tidak apa. Tapi jika kita lihat jaman now, banyak sekali murid-murid banyak yang terjerumus dalam keburukan, maka peniadaan PR membuat waktu murid-murid tersebut semakin selo dan semakin selo malah dapat menjaddikan peuang masukkan keburukanmenjadi lebih besar.
terimakasih
Muhamad ikhsan sahal guntur
ReplyDelete18709251044
PPs Pendidikan Matematika c 2018
saya sangat setuju bahwa larangan memberi PR Matematika walaupun bertujuan baik tetapi tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada, karena bersifat parsial, tidak matang dan tidak mempunyai landasan justifikasi keilmuan yang kuat. karena bila kita melihat dari sisi lain sebenarnya ativitas mengerjakan pr dirumah merupakan salah satu cara untuk mendekatkan hubungan harmonis antara anak dan orang tunya, Pengerjaan pr juga memfasilitasi dan menstimulus siswa untuk mengingat kembali apa yang sudah dipelajarinya disekolah. seharusnya kebijakan untuk tidak memberikan PR perlu dikaji lagi semisalpun ingin segera diterapkan maka dalam penerapanya haruslah secara bertahap dan terevluasi.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAssalamu Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
ReplyDeleteDuden Saepuzaman
NIM. 19701261008
S3 PEP 2019
MENYOAL LARANGAN MEMBERI PR MATEMATIKA
Terkait larangan memberi PR matematika pada siswa menurut saya ada sisi baik dan sisi jeleknya. Sisi baiknya salah satunya ini bsa dijadikan proses latihan sebagai sarana belajar dan sarana untuk membangung dan menemukan pemahaman terkait sesuatu/ilmu.. Tinjauan sisi jeleknya, kekhwtran siswa tidak ada masa untuk bermain, menjalankan aktivitas lain sesuai kebutuhan dan perkembangannya sehingga beberapa hal yang tekait pertumbuhan dan perkembangannya selain akademik kurang berkembang secara optimal. Sehingga solusi terbaik saya setuju dengan prof harus dikembalikan lagi kepada paradigma yang sesuai dengan anak kecil yang meliputi , belajar adalah membangun atau menemukan, Siswa adalah subjek atau pelaku pendidikan, Guru adalah fasilitator, Mengajar adalah memfasilitasi siswa agar siswa mampu belajar dam Sumber belajar adalah semua lingkungan fisik dan hidup siswa.
Jika dikembalikan lagi kepada paradigmanya, maka semua pihak akan menjalankan perannya dengan baik sehingga tujuan yang diharapkan dapat lebih tercapai secara optimal.
Assalamu'alaikum wr. wb
ReplyDeleteNovi Indriyani Kones
19701251002
PEP S2 A 2019
Himbauan menteri tersebut merupakah salah satu tindakan untuk kemajuan pendidikan yang lebih baik. Namun, pada prakteknya himbauan tersebut tidak dapat dilakukan pada semua jenjang pendidikan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan dan kemampuan setiap peserta didik pada setiap jenjang itu berbeda-beda. Himbauan ini lebih cocok diberikan kepada peserta didik SMA dan mahasiswa Perguruan tinggi. pada tingkat TK sampai SD, anak masih dalam tahap proses pertumbuhan dan pembentukan karakter awal sehingga masih sangat diperlukan kegiatan bermain, bersosialisasi, mengenal lingkungan sekitarnya. Jika memang diperlukan untuk guru memberikan PR maka sebaiknya peserta didik mendapatkan PR yang disesuaikan dengan kegiatan atau aktivitas dari peserta didik TK atau SD. Sementara itu, tingkat SMP juga sama karena pada jenjang ini peserta didik sedang beralih dari dunia anak ke dunia remaja sehingga diperlukan kegiatan diluar selain belajar materi pelajaran di sekolah, seperti, memilih teman, bergaul dengan baik, kegiatan pendekatan dengan orang tua.
Terimakasih
Wassalamu'alaikum wr. wb
Jewish Van Septriwanto
ReplyDelete19709251077
S2 Pendidikan Matematika D 2019
Pemerintah dianggap perlu meminimalisir faktor ego sektoral dan memanfaatkan hasil riset dalam penentuan kebijakan untuk pelarangan pemberian PR kepada siswa saya setuju pak. memang permasalahan ini menimbulkan pro dan kontra dalam pendidikan. Di samping itu, data dan penemuan di atas dapat menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan di dalam pendidikan bahwa pembebanan PR harus melalui studi dan penelitian yang tepat. Sehingga target dan tujuan PR bisa diperoleh sebagaimana yang diharapkan oleh para pengelola pendidikan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah, dalam membuat kebijakan atau keputusan yang menyangkut kepentingan publik dalam bidang pendidikan, hendaknya disertai dengan kajian dan analisa yang matang. Semua ini diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
Vera Yuli Erviana
ReplyDeleteNIM 19706261005
S3 Pendidikan Dasar 2019
Banyak orang menyebutkan matematika adalah mata pelajaran yang paling sulit dibanding mata pelajaran yang lain. Dengan adanya himbauan larangan memberi PR matematika akan lebih memungkinkan anak untuk sulit berkembang mendalami ilmu matematika yang dapat berdampak pada kedepannya. Karena pada persaingan zaman teknologi sekarang ini, semua yang dibutuhkan lebih kepada ilmu matematika. Alangkah baiknya mungkin tetap diberi PR matematika dengan syarat sesuai tingkatan atau kemampuan peserta didik pada setiap jenjang.
Dhamar Widya Safitri
ReplyDelete19701251009
S2 PEP A 2019
Assalamualaikum.
Pemberian PR matematika memiliki sisi positif dan negatifnya tersendiri. Positifnya, siswa dapat mengulang kembali apa yang sudah diajarkan guru di sekolah. Sisi negatifnya, waktu siswa untuk melakukan kegiatan bersosialisasi atau mempelajari bidang lain akan berkurang.
Akan lebih baik pemberian PR dilihat dari jenjang pendidikan siswa dan tingkat kesulitan materi. Beri siswa untuk mencoba ilmu yang baru karena siswa cerdas bukan berdasarkan besarnya nilai matematika atau nilai UN mereka.
Terimakasih
Hima Naili Hidayah
ReplyDelete19701251004
PEP A S2 2019
Larang pemberian PR (Pekerjaan Rumah) menurut saya kurang tepat. Karena, untuk memudahkan siswa dalam memahami konsep-konsep terutama dalam mata pelajaran matematika harus dengan mengerjakan latihan-latihan soal. Menurut saya, hanya sekedar membaca tanpa mengerjakan latihan-latihan soal. Siswa masih merasakan kesulitan dalam memahami mata pelajaran tersebut. Jika memang larangan memberikan PR diberlakukan, maka pihak sekolah atau instansi harus memberikan suatu ruang dan waktu pada siswa untuk melakukan latihan-latihan soal tersebut.
Assalamu'alaykum wr wb
ReplyDeleteDwi Kawuryani
19709251061
Pendidikan Matematika S2 D
Postingan ini adalah tulisan yang sangat mendalam dan bermanfaat. Bagi orang tua siswa, tidak memberikan PR adalah keuntungan karena anak mereka tidak perlu lagi lembur dirumah atau bahkan tidak ada lagi siswa yang berpikir bahwa PR tidak berpengaruh karena pada akhirnya siswa mengerjakan PR dengan menyontek. Adanya kebijakan ini jika tidak dibarengi dengan adanya pembenaran paradigma pendidikan hanya akan menyulitkan guru, dan memang benar bahwa setiap pelajaran membutuhkan pendekatan masing-masing dalam pembelajaran. Dalam postingan ini juga dijabarkan banyak fakta yang menjadi kendala perkembangan pendidikan Indonesia. Kita sebagai pendidik harus mampu menyikapinya dengan tidak mengabaikan berbagai tuntutan dari pemerintah ataupun siswa, harus senantiasa belajar. Memang akan sangat sulit untuk melakukannya karena banyaknya hal yang harus dilakukan.
Wassalamu'alaikum wr wb
sintha fardu anggraeni
ReplyDelete19709251071
S2 pendidikan matematika /D
terimakasih Pak Prof Marsigit.
yang saya pahami dari tulisan ini adalah bila seluruh guru mata pelajaran memberi PR kepada siswa maka siswa dirumah tidak dapat mengembangkan hal- hal cakupan ilmu di mata pelajaran tersebut. namun bila guru tidak memeberi PR maka materi kurikulum tidak dapat tuntas atau kemampuan siswa tidak optimum. kiranya perlu pertimbangan yang lebih pikirkan.
Dea Armelia
ReplyDelete19709251072
S2 Pend.Matematika D 2019
Mungkin kebijakan pemerintah terinspirasi model pendidikan di Finlandia yang memang tidak diperkenankan kasih PR ke anak. Boleh jadi akan tepat jika PR ditiadakan, guna memberikan ruang dan kesempatan siswa untuk belajar lewat keseharian dan menikmati hidupnya. Tapi bukan berarti PR dilenyapkan dari semua tingkatan pendidikan. Cukup sekolah dasar saja, pasalnya usia mereka memang diproyeksikan untuk bermain dalam rangka stimulasi pertumbuhan fisik dan kecerdasan.
Dea Armelia
ReplyDelete19709251072
S2 Pend.Matematika D 2019
Jika kita lihat dampak positifnya, pemberian PR dapat dilatarbelakangi dari maraknya siswa sekarang yang mulai kecanduan dengan tekhnologi. Salah satunya media komunikasi, handphone. Siswa merasa lebih menikmati untuk memainkan handphone tersebut dari pada untuk membaca buku-buku pelajaran. Siswa lebih asyik untuk bermain game, sosial media, dan lain sebagainya. Hal ini berdampak siswa menjadi malas untuk melakukan aktivitas lainnya. Lebih dari itu, siswa menganggap belajar adalah sesuatu yang tidak penting lagi, dikarenakan siswa mulai merasa sangan senang dengan handphone yang sering dimainkannya. Sehingga Guru memberikan pekerjaan rumah dengan tujuan untuk penguatan, pendalaman dan pengayaan apa yang telah diplajari. Dengan harapan siswa memiliki tingkat penguasaan materi yang tinggi.
Ahmd Syajili
ReplyDelete19709251066
S2 PMD 2019
Assalamualaikum wr.wb
Melalui tulisan ini saya memahami bahwa kondisi pendidikan Indonesia seperti mengalami dilema. Di satu sisi pemerintah mulai melakukan pelarangan pemberian PR kepada siswa mengingat paradigma yang seperti Pak Prof. sampaikan sebelumnya, bahwa bagi anak kecil ilmu itu didefinisikan sebagai suatu aktivitas dan kegiatan. Dimana hal ini berbeda dengan orang dewasa bahwa bagi orang dewasa ilmu adalah suatu struktur logika dan dan kebenaran.
Dengan melihat paradigma keilmuan bagi anak kecil, wajar jika siswa tidak dibebankan dengan PR yang banyak dari masing-masing mata pelajaran. Ditambah lagi bahwa pada masa inilah siswa masih memerlukan kegiatan lain seperti bersosialisasi, mengenal lingkungan dan sebagainya. Maka sangat tepat jika pemerintah mengambil keputusan untuk melarang pemberian PR kepada siswa.
Akan tetapi, jika dilihat kondisi kurikulum sekarang, pelarangan pemberian PR bagi siswa rasanya masih belum tepat. Seperti yang Bapak sampaikan pada tulisan diatas bahwa generasi sekarang menggunakan paradigma keilmuan orang dewasa, dimana fungsi pendidikan dimaksudkan untuk mentransfer segala ilmunya orang dewasa berserta kepentingannya.
Dengan demikian kondisi pendidikan di Indonesia berada dalam kondisi serba salah. Disatu sisi pelarangan pemberian PR kepada siswa bertujuan baik, namun pemerintah masih mengalami kendala pada pelaksanaannya, seperti susunan kurikulum serta pelarangan tersebut belum mempunyai landasan ilmu yang kuat.
Selamat sore
ReplyDeleteMelarang memberi PR Matematika bagi siswa
Dari judul artikel ini ada satu pertanyaan yang muncul dibenak saya yaitu Mengapa siswa dilarang untuk diberi PR?
Pekerjaan rumah (PR) dilarang karena mungkin PR itu terlalu sulit untuk dikerjakan oleh siswa. karena sulitnya PR itu maka siswa mengerjakan PR itu berjam-jam sampai mereka tidak bisa bermain dengan teman-teman.Selain itu, mereka lebih fokus mengerjakan PR ketimbang membantu orang tua misalnya menyelesaikan pekerjaan rumah yang mereka bisa lakukan seperti menyapu,mencuci piring, dan lain-lain. Hal ini terjadi mungkin disebabkan karena (seperti yang Prof katakan) "generasi sekarang menggunakan paradigma keilmuan orang dewasa, dimana fungsi pendidikan dimaksudkan untuk mentransfer segala ilmunya orang dewasa berserta kepentingannya". Oleh karena itu, kurikulum matematika perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kondisi atau tingkatan umur dari peserta didik. Untuk itu, pengembangan kurikulum perlu memperhatikan umur dari siswa yang akan mempelajari materi matematika kedepan
Puspitarani
ReplyDelete19709251062
S2 Pendidikan Matematika D 2019
Terima kasih Bapak atas artikel yang Bapak share kepada kami. Setiap aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Seperti kurikulum 2013 yang baru saja 5 tahun ini dilaksanakan. Beberapa kali saya pernah bertanya kepada saudara saya (guru dan siswa) tentang pelaksanaan K-13 itu seperti apa. kebanyakan mereka menjawab masih bingung, memberatkan, guru tidak banyak bicara, murid yang dituntut untuk menemukan sendiri. Begitu pula dengan larangan pemberian PR Matematika, pasti juga ada pro dan kontra. Dari beberapa komentar yang saya baca ada yang mengatakan jika mungkin larangan memberi PR matematika sudah diberlakukan di luar negeri. Nah dari sini kita harus tahu terlebih dahulu negara mana saja yang sudah melarang memberi PR Matematika untuk siswa,misalnya negara Jepang yang notabene bisa dibilang siswa-siswinya sudah pandai dan terampil ber-matematika dibuktikan dengan tes/ujian dan nilai matematika Internasional yang mengatakan hasil belajar Matematika siswa-siswa Jepang tinggi. Lalu kita kembali lagi ke negara kita Indonesia, apakah siswa-siswi di Indonesia sudah pandai dan terampil ber-matematika? Saya rasa belum, bahkan dari data Internasional hasil belajar siswa Indonesia masih tergolong rendah.
Puspitarani
ReplyDelete19709251062
S2 Pendidikan Matematika D 2019
Di jaman modern ini, misalnya anak tidak ikut les atau kegiatan yang lain apa ada jaminan mereka dapat menguasai matematika jika tidak diberi PR? Lalu apakah ada jaminan juga untuk anak yang sudah les mereka dapat menguasai Matematika? terkadang anak yang malas untuk les mereka akan menggunakan waktu mereka untuk bermain, untuk anak yang rajin les juga biasanya menyerahkan PR atau tugas kepada guru lesnya agar dikerjakan oleh guru lesnya. Jadi pemerintah boleh memberikan larangan memberikan PR Matematika untuk siswa, asalkan ada jaminan bahwa siswa tanpa diberi tugas tambahan dapat pandai dan terampil bermatematika. Mungkin larangan pemberian PR Matematika hanya berlaku untuk siapa saja, dan tidak berlaku untuk siapa. Kami yang kuliah di Jurusan Pendidikan Matematika saja setiap minggu ada tugas matematika. Apalagi Matematika merupakan salah satu pelajaran yang dimasukkan dalam Ujian Nasional, ujian untuk masuk universitas.
Aulia Nur Arivina
ReplyDelete18709251051
S2 Pendidikan Matematika C 2018
Assalamu’alaikum wr.wb.
Menurut saya, pemberian Perkerjaan Rumah (PR) terutama mata pelajaran Matematika masih diperlukan. Mengingat setiap siswa mempunyai daya tangkap yang beragam, ada yang memahami materi dengan hanya mendengarkan penjelasan guru, ada yang harus dijelaskan berulang, dan bahkan ada yang paham melalui latihan soal. Tujuan diberikannya PR sebagai salah satu tolok ukur guru, sejauh mana siswa memahami suatu materi. Namin hendaknya PR tidak diberikan setiap pembelajaran berakhir, agar tetap memberikan kesempatan siswa untuk bersosialisasi, bermain dan mengaji.
Sekar Hidayatun Najakh
ReplyDelete19701251007
S2 PEP A 2019
Assalamualaykum wr wb...
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sebagai mata pelajaran yang cukup berat dikalangan peserta didik terutama di jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Hal ini disebabkan paradigma yang diberikan kepada peserta didik mengenai matematika adalah hasil dari paradigma dewasa, bahwa matematika adalah ilmu. Sedangkan dalam menyampaikan pelajaran matematika untuk usia anak-anak seyogyanya diberikan paradigma bahwa pelajaran yang ada di sekolah adalah sebuah kegiatan. Dimana dalam kegiatan tersebut, guru sebagai fasilitator mendorong peserta didik untuk menemukan arti atau paradigma pada setiap mata pelajaran. Sehingga pelajaran adalah sesuatu yang harus dilalui dengan cara dan jalannya masing-masing, bukan suatu doktrin yang mengekang. Benar kiranya jika kebijakan sebaiknya adalah hasil dari fakta-fakta di lapangan melalui riset-riset yang telah dilaksanakan, bukan hasil keputusan dalam kepentingan sepihak. Sebab dalam hal ini kita berurusan dengan peserta-peserta didik, dimana pada merekalah masa depan bangsa bergantung nantinya.
Terimakasih Prof...
Anna Isabela Sanam
ReplyDeletes2 PEP A 2019
19701251001
Saya sangat setuju dengan gambaran awal yang Bapak berikan. Dalam hal pemberian tugas jangankan bagi anak SD, SMP, SMA bahkan untuk mahasiswa jika setiap mata kulia diberikan tugas dengan jangka waktu 1 minggu sesungguhnya secara tidak langsung merenggut waktu untuk aktivitas lain. Sama halnya dengan anak SD, pada rentang usia ini anak – anak masih memiliki kecendrungan untuk bermain setelah pulang sekolah. Bisa dibayangkan jika setelah selesai bersekolah harus menggunakan waktu di rumah untuk menyelesaikan PR. Pengalaman saya sebagai mahasiswa sekaligus orangtua, anak saya sering meminta saya untuk mengerjakan PRnya. Maka kesimpulannya yang bertambah pintar adalah orangtua bukan siswanya. Oleh karena itu, saya juga setuju jika dikatakan system pendidikan yang selama ini dijalani adalah proses transfer ilmu untuk kepentingan orang tua/ dewasa.
Terima kasih Prof.
Anna Isabela Sanam
ReplyDeletes2 PEP A 2019
19701251001
Seperti yang dituliskan bahwa setinggi-tingginya ilmu, lebih tinggi adalah kebijakan. Saya juga meyakini bahwa ketika pemerintah mengambil langkah dalam membuat sebuah kebijakan tentunya pemerintah telah memiliki alasan – alasan yang kuat terhadap kebijakan tersebut. Namun ketika kebijakan tersebut akhirnya menuai kontroversi maka menurut saya alasan – alasan itu belum cukup. Oleh karena itu, dalam membuat sebuah kebijakan ditinjau terlebih dahulu dari berbagai aspek dan bahkan jika perlu mengadakan penelitian khusus untuk mensurvei keadaan real di lapangan. Dengan demikian maka setidaknya dapat meminimalisir dampak negative yang mungkin akan terjadi.
Terima kasih Prof.
Hanifah Nabila Hendral
ReplyDelete19701251003
S2 PEP A 2019
Assalamualaikum,
memberika pr pada siswa kurang tepat,apalagi jika setiap guru memberikan pr pada siswanya, tentu ini akan menyebabkan siswa menjadi setres. siswa sudah belajar di sekolah dari jam 7 pagi hingga sore hari (fullday school) di tambah lagi jika siswa harus mengerjakan pr maka waktu siswa sudah habis. padahal banyak siswa yang sudah lelah setelah pulang sekolah. siswa juga perlu untuk berinteraksi dengan keluarga, teman, perlu mengaji dan melakukan hal-hal lainnya bukan hanya mengerjakan pr. namun di satu sisi, jika pr tidak di berikan maka siswa tidak akan belajar, padahal..pemerintah menuntut sangat tinggi.mungkin banyak yang harus di perbaiki dan perlu adanya evaluasi lebih dalam terkait pemberian pr pada siswa.
Sri Ningsih
ReplyDelete19709251064
S2 Pendidikan Matematika kelas D
Memberikan PR pada siswa masih menimbulkan prokontra terkhusus pada mata pelajaran matematika. Siswa sudah seharian belajar di sekolah, apabila diberikan PR kapan siswa akan memiliki waktu untuk beristirahat. Namun jika siswa tidak diberikan PR kapan siswa akan mengulang materi yang diberikan, bukankah lebih sering mengulang dan berlatih akan menyebabkan fasih dalam menyelesaikan persoalan. Dibutuhkan kebijaksanaan kepada kita para calon pendidik untuk memikirkan, kapan PR benar-benar dibutuhkan dan tidak dibutuhkan.
Alfiana Dewi
ReplyDelete19701251005
S2 PEP A 2019
Bismillah, sebelum membahas mengenai pemberian PR kepada siswa, saya pernah diberi nasehat mengenai menjadi seorang guru, nasehat tersebut berisi "Jadilah Guru, Jangan Guru pun Jadi". dari kalimat tersebut dapat dikatakan bahwa menjadi seorang guru tidaklah mudah, menjadi guru mengemban amanah yang luar biasa beratnya, dan menjadi guru bukan menjadi solusi alternatif jika tidak ada profesi yang kita geluti.
Menjadi guru harus bijak dalam proses KBM, salah satunya mengenai pemberian PR. Pemberian PR masih menjadi pro dan kontra, dikarenakan disaat ini sekolah sudah menerapkan sistem full day, dan sesampai dirumah meraka harus memikirkan beban untuk mengerjakan PR. Namun pada faktanya juga seorang siswa jika tidak diberikan PR hampir rata-rata tidak akan mengulang pelajaran tersebut sehingga ilmu yang didapat disekolah mudah dilupakan. oleh karena itu masalahpemberian PR untuk sisiwa di Indonesia masih menjadi pro dan kontra
Yufida Afkarina Nizar Isyam
ReplyDelete19709251073
S2 Pendidikan Matematika D 2019
Setiap kebijakan pasti dipenuhi pro dan kontra, memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Siswa memang perlu untuk melakukan hal yang lain di luar sekolah sementara di sekolah siswa sudah diforsir untuk belajar dan belajar, sementara kemampuan penerimaan materi siswa juga memiliki batasan. Namun banyak sekali keadaan dimana siswa hanya akan belajar saat ada PR dan ujian. Dan ada yang beranggapan bahwa PR hanya akan menjadi beban. Jadi disini bisa diambil jalan tengah bahwa pemberian PR sebaiknya tidak terlalu berlebihan agar siswa masih memiliki waktu untuk melakukan hal yang lain. Paling tidak siswa mau mempelajari kembali materi yang sebelumnya diajarkan dan yang akan diajarkan.
Yufida Afkarina Nizar Isyam
ReplyDelete19709251073
S2 Pendidikan Matematika D 2019
Mengenai pernyataan di atas bahwa larangan memberi PR Matematika bertujuan baik tetapi tidak mampu menyelesaikan solusi hakiki pendidikan nasional, karena bersifat parsial, tidak matang dan tidak mempunyai landasan justifikasi keilmuan yang kuat, hal tersebut memang benar adanya. Oleh karena itulah diperlukan adanya kajian mengenai hal ini, bagaimana positif negatifnya sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan untuk memperbaiki sistem pendidikan.
Choirul Amri
ReplyDelete(19709251078 S2 Pendidikan Matematika Kelas D 2019)
Bismillah,
Sebelumnya saya berterimakasih atas ilmunya. Saya sependapat dengan Bapak Prof Marsigit bahwa larangan memberi PR khususnya Matematika bertujuan baik, akan tetapi menurut hemat saya kurang mampu menjadi solusi dalam pendidikan nasional kita. Baiknya PR tersebut diberikan bukan karena hanya sebagai tambahan kerja siswa akan tetapi PR tersebut sebagai cara agar siswa juga mengulang pelajaran dirumah sebab tidak sepenuhnya pelajaran dikelas dapat diterima 100 %. Alangkah baiknya guru memberikan PR namun yang sifatnya mengulang pelajaran yang sudah di berikan. Sehingga siswa tidak merasa di beri beban dalam belajar.
Terimakasih.
Tiara Wahyu Anggraini
ReplyDelete19709251065
S2 Pendidikan Matematika D 2019
Kalau berbicara tentang penghapusan PR Matematika ataupun mata pelajaran lainnya ternyata masih menimbulkan pro dan kontra. Mengapa demikian? Ketika orang-orang setuju untuk melarang guru memberikan PR kepada siswa-siswi ternyata membuat kerugian. Mari kita lihat ke belakang. Guru memberikan PR kepada siswa karena tujuannya ingin melihat sampai dimana pemahaman siswa paham dengan materi yang telah di ajarkan. Selain itu, guru juga secara tidak langsung menyuruh siswa mengulang pelajaran yang telah di pelajari siswa, tujuannya agar siswa lebih paham lagi dan bisa teringat di ingatannya. Bukan hanya itu, pemberian PR itu juga untuk menambah nilai siswa apabila ada nilainya yang kurang, baik itu ketika ulangan harian maupun ulangan tengah dan akhir semester. Nah, ketika pemberian PR dihapuskan, kita tidak bisa menjamin siswa-siswi tersebut mengulang pembelajaran di rumah. Selain itu juga, tidak ada penambahan lagi, kecuali adanya remedial ketika ulangan, itupun jika remedialnya mendapatkan nilai yang baik.
Tiara Wahyu Anggraini
ReplyDelete19709251065
S2 Pendidikan Matematika D 2019
Nah, tadi berbicara soal kontra penghapusan PR matematika. Lalu bagaimana tentang pendapat pro penghapusan PR matematika? Ternyata banyak orang-orang yang ingin menghapuskan pemberian PR. Karena menurut mereka, anak-anak sudah belajar 6 bahkan 8 jam di sekolah yang mana mereka butuh istirahat, namun istirahat mereka harus “di ambil” dengan mengerjakan tugas-tugas yang begitu banyak. Apalagi kalau tugasnya dari beberapa mata pelajaran. Selain itu, mereka juga tidak bisa bermain yang mana itu adalah hal yang mereka tunggu-tunggu ketika akan pulang ke rumah. Hal yang memperkuat penghapusan PR ialah karena bermain juga merupakan suatu pembelajaran, yang mana mereka bisa mengeksplorasi kemampuan mereka, dan mereka bisa saling bersosialisasi dan berkomunikasi dengan anak-anak lainnya. Dengan banyaknya PR yang diberikan guru kepada siswa membuat siswa akan menjadi jenuh, malas dan menjadikan itu beban buat mereka sehingga ujung-ujungnya membuat mereka menjadi malas-malasan baik itu dalam hal belajar maupun pergi ke sekolah.
Annisa Nur Arifah
ReplyDelete18709251058
S2 Pendidikan Matematika C 2018
Saya sependapat dengan Bapak. Selain itu, menurut Harris Cooper, Ketua Departemen Psikologi dan Neurosains di Duke University sekaligus pengarang buku The Battle Over Homework, memberikan beberpa saran agar PR yang diberikan bermanfaat untuk meningkatkan prestasi anak. PR dapat bermanfaat bagi anak apabila ukurannya sesuai dengan usia anak dan tingkat perkembangan kognitifnya. Memberikan PR dengan ‘dosis’yang tepat mampu meningkatkan prestasi anak.
Annisa Nur Arifah
ReplyDelete18709251058
S2 Pendidikan Matematika C 2018
Bagi anak-anak sekolah dasar, sebaiknya PR tidak terlalu banyak, karena sekadar untuk membangun kebiasaan belajar dan meningkatkan keterampilan dalam berlatih soal-soal. Selanjutnya untuk siswa SMP sebaiknya mengerjakan PR tidak lebih dari 1,5 jam permalam. Untuk siswa SMA sebaiknya mengerjakan PR antara 1,5 jam sampai dengan 2,5 jam permalam. PR yang terlalu banyak akan membuat anak stres dan tidak dapat meningkatkan prestasi.
Latifa Krisna Ayu
ReplyDelete19709251060
S2 Pendidikan Matematika D
Terkait larangan memberikan PR, saya merupakan golongan yang kontra. Menurut saya, PR dapat membantu siswa agar mempelajari materi di luar jam sekolah. Hal ini karena motivasi siswa untuk kembali mempelajari materi di luar jam sekolah sangatlah sedikit. PR membuat siswa mau tidak mau harus mengerjakannya di rumah karena PR merupakan cara pendidik memberikan tanggung jawab kepada siswa untuk kembali mempelajari materi di rumah. Sedangkan jika tidak ada PR maka dikhawatirkan siswa hanya akan mempelajari materi selama jam pelajaran di sekolah saja, padahal waktu yang dimiliki siswa untuk belajar di sekolah sangatlah terbatas. Hal ini akan membuat siswa semakin tidak paham akan materi pembelajaran yang diberikan. Bahkan siswa yang mendapatkan waktu belajar tambahan di luar sekolah dalam bentuk les privat atau bimbel pun belum tentu dapat memahami dengan baik suatu materi, lalu bagaimana siswa yang tidak memmiliki les privat atau bimbel serta tidak mendapat PR? Saya rasa akan sangat sulit bagi mereka untuk kembali mempelajari materi pelajaran di luar jam sekolah.
Terima kasih
Rona Happy Mumpuni
ReplyDelete19709251059
S2 Pendidikan Matematika D
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan agar kebijakan yang diterapkan dapat berjalan optimal dengan dukungan kualitas tenaga dan sarana pendidikan yang memadai adalah
1. Peningkatan kualitas guru.
Kualitas guru yang selama ini hanya bersandar pada sertifikasi menurut saya tidak cukup (untuk diterapkan kebijakan). Pemerintah bisa memberikan program tambahan, misalnya menyekolahkan guru-guru sampai S2 di PTN atau PTS berkualitas,
2. Sikap kooperatif orang tua dalam mendidik anak di rumah
Ketika anak kembali ke rumah, komunikasi yang baik akan menciptakan kualitas pendidikan yang baik, seperti menanyakan hal-hal yang terjadi di sekolah.
3. Lingkungan tempat tinggal untuk bersosialisasi apakah cukup baik untuk perkembangan anak.
Rona Happy Mumpuni
ReplyDelete19709251059
S2 Pendidikan Matematika D
Sejujurnya, sebagai orang yang pernah menjadi guru di sekolah formal saya adalah salah satu yang pro dengan PR. Karena pada dasarnya kebiasaan siswa ketika pulang dari sekolah ada kecenderungan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya kecanduan seperti bermain game, berkumpul dengan teman hingga larut atau menonton TV dll. Dengan pemberian PR, siswa dipaksa untuk tetap belajar.
Namun, kebijakan pemberian PR haruslah serta merta disertai berbagai pertimbangan, seperti porsi PR yang disesuaikan agar siswa juga mempunyai waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, quality time dengan keluarga, dll. Tentunya perang guru dan orang tua yang saling bersinergi akan sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Fitria Restu Astuti
ReplyDelete19709251069
S-2 Pendidikan Matematika D 2019
Realita di sekolah memang benar siswa-siswa, guru-guru bahkan kepala sekolah terbenani dengan adanya UN. Tentu semua berharap nilai UN yang diraih siswa-siswi di sekolah baik dan membanggakan akan tetapi sebaik apapun hasil yang diperoleh jika esensi pembelajaran tidak tercapai maka nilai itu hanya sebatas angka yang tidak bermakna. Kepala sekolah dan guru-guru seharusnya dapat memfasilitasi siswa dalam belajar. Tidak hanya sekedar bisa mengerjakan soal tetapi siswa juga harus mampu memahami dan merencanakan cara mencari solusi dari soal yang didapat. Berbagai macam metode yang ada dapat menjadi alternative guru untuk menjadikan pembelajaran menjadi bermakna. Adanya PR juga menambah motivasi siswa dalam belajar khususnya matematika.
Lovie Adikayanti
ReplyDelete19709251068
S2 Pendidikan Matematika D
Assalamualaikum wr.wb
Menurut Carr, N. S bahwa homework, when designed and implemented properly, is a valuable tool for reinforcing learning. Berdasarkan hal ini, pemberian PR akan efektif jika PR tersebut ditujukan untuk memperkuat pengetahuan siswa terhadap hal yang ia pelajari di Sekolah, Namun untuk memastikan tujuan ini bisa tercapai atau tidak, bukanlah mudah terlebih lagi banyaknya bimbingan belajar yang menjadikan siswa tergantung pada tentor agar PR nya terselesaikan. Pemberian PR akan efektif lagi jika disesuaikan porsinya, dan mungkin tidak setiap hari diberikan.
Dini Senjaningrum
ReplyDelete19709251067
Pendidikan Matematika D 2019
Tujuan adanya larangan memberi PR adalah agar siswa tidak terbebani dengan tugas sekolah dan dapat melakukan kegiatan lain di luar sekolah. Menurut saya tujuan tersebut baik untuk siswa dan dapat di dukung dengan metode pemberian PR yang disesuaikan dengan aktivitas atau kegiatan yang tidak membebani siswa dan memiliki tujuan untuk membantu siswa mengulang kembali materi pembelajaran yang telah disampaikan di sekolah.
Wiwin Mistiani
ReplyDeletePEP S3 2019
Saya sangat sepakat sekali dengan artikel prof..
Karana memberi Pr kepada siswa khususnya pada anak SD sama halnya memberi tambahan pekerjaan bagi ibu rumah tangga...telah banyak kasus yang kita temukan di lapangan bahwa Pr yang seharusnya di kerjakan oleh siswa pada akhirnya di kerjakan oleh anggota keluarga khususnya ibu. Dan ini sangat tidak efektif dalam meningkatkan pengetahuan siswa.
Vera Yuli Erviana
ReplyDeleteNIM 19706261005
S3 Pendidikan Dasar 2019
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pengembangan mutu pendidikan di Indonesia sudah semestinya menjadi tanggung jawab bagi siswa, guru, kepala sekolah, hingga pemerintah. Namun, tidak jarang ditemukan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat kontroversial, hingga bisa dianggap bahwa siswa dan guru lah yang dikorbankan. Sering juga terjadi pelarangan pemberian PR kepada siswa karena hal itu dapat menyita banyak waktu dari siswa. Pengembangan mutu di Indonesia yang tepat dilakukan adalah bahwa belajar adalah membangun atau menemukan, dimana siswa sebagai subjek dan guru sebagai fasilitator, serta metode pembelajaran yang melibatkan lingkungan, keaktifan siswa, dan penerapan dalam kesehariannya, bukan metode pembelajaran dengan penyampaian definisi yang terkesan membebankan siswa untuk memahami dan menghafalkannya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Alfiana Dewi
ReplyDelete19701251005
S2 PEP A 2019
Menjadi guru harus bijak dalam proses KBM, salah satunya mengenai pemberian PR. Pemberian PR masih menjadi pro dan kontra, dikarenakan disaat ini sekolah sudah menerapkan sistem full day, dan sesampai dirumah meraka harus memikirkan beban untuk mengerjakan PR. Namun pada faktanya juga seorang siswa jika tidak diberikan PR hampir rata-rata tidak akan mengulang pelajaran tersebut sehingga ilmu yang didapat disekolah mudah dilupakan dan pengkondisian dalam memberikan PR matematika kepada siswa, karena karakter kebutuhan dan kepuasan dalam belajar siswa berbeda, ada siswa yang senang diberikan PR dan ada juga siswa yang tidak senang dengan hal tersebut. Dalam pembelajaran matematika tidak cukup ketika latihan berhitung di sekolah saja melainkan perlunya tambahan latihan di rumah agar siswa terlatih dalam kemampuan berhitungnya. Di sinilah peran seorang guru dalam melihat kondisi siswa yang diajar, apakah efektif ketika saya memberikan PR atau tidak. oleh karena itu masalah pemberian PR untuk sisiwa di Indonesia masih menjadi pro dan kontra
Muh. Asriadi AM
ReplyDelete19701251008
S2 PEP A 2019
Pemahaman saya dari artikel ini yaitu menyoal larangan memberi PR khususnya pada mata pelajaran Matematika sampai sekarang masih menjadi hal yang prokontra dari peneliti, praktisi, akademisi, maupun orang tua karena memang berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan dalam jurnal maupun buku juga berbeda. Pemberian PR memberikan efek positif dan negative bagi siswa. Efek positifnya yaitu siswa akan menjadi lebih mandiri dan termotivasi untuk belajar khususnya saat di luar sekolah sehingga siswa transfer ilmu yang dilakukan oleh guru menjadi lebih maksimal. Di lain sisi muncullah efek negative terhadap pemberian PR kepada siswa yaitu berkurangnya jam bermain anak, waktu istirahat, waktu dengan keluarga, dan memicu kelelahan dan stress pada anak
Guru menjadi pelindung, pengayom, serta bertindak sebagai fasilitator belajar anak. Sinergi antara kegiatan belajar di sekolah dengan kegiatan belajar di rumah (keluarga) memang diperlukan sesuai dengan porsinya. Belajar bisa di mana pun dan kapan pun. Pemberian PR kepada siswa tentu sedikit banyak menjadi keluhan bagi siswa itu sendiri maupun bagi keluarga jika keadaannya berlebih, apalagi jika setiap mata pelajaran memberikan PR, sudah bisa dipastikan hampir semua anak akan mengeluh. Kegiatan belajar di rumah bisa dibimbing oleh orang tua atau anggota keluarga lain tanpa harus ada "paksaan" oleh adanya PR dan belajar di lingkungan rumah hendaknya demokratis serta tidak ada tekanan secara psikologis pada diri anak.
ReplyDeleteIkhsanudin (PEP-S3/19701261001)